Rabu, 19 Juli 2017

Reimbursement, ASKES, dan BPJS


Saya pernah menjalani ketiganya untuk pengobatan diabetes. Saya membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar gula darah saya, dimana harga insulin itu tidak murah (baca : mahal) bagi saya. Jadi, tunjangan kesehatan memang sangat membantu saya untuk menekan biaya kesehatan setiap bulannya. Karena selain insulin, masih ada kebutuhan lainnya seperti jarum untuk insulin pen, strip glukometer, alcohol swab, jarum lancet, dsb yang memang harus saya anggarkan setiap bulannya.  Saya ingin berbagai pengalaman saya sewaktu menjalani pengobatan dengan menggunakan sistem reimbursement, ASKES, dan BPJS 😊

Reimbursement
Saya berusia 22 tahun saat pertama kali terdiagnosa diabetes di tahun 2010.  Baru beberapa bulan lulus kuliah.  Bersyukur, saya tidak lama menganggur. Lamaran online yang saya tujukan ke salah satu bank syariah berbuah manis. Setelah menjalani rangkaian prosedur penerimaan pegawai, saya dinyatakan diterima. Senangnya bukan main! Tak berapa lama setelah kebahagiaan itu pun, saya terdiagnosa Diabetes Mellitus (atau orang awam lebih mengenalnya dengan 'sakit gula'). Saya yang saat itu berstatus sebagai pegawai kontrak, mendapat fasilitas tunjangan kesehatan berupa penggantian uang kembali dari biaya pengobatan yang sudah dikeluarkan (reimbursement, atau 'rembes') sebesar 90% dari perusahaan tempat saya bekerja.

Dengan fasilitas kesehatan seperti itu, saya lebih leluasa memilih dokter dengan jam praktik yang dapat disesuaikan dengan waktu luang yang saya miliki.  Rumah sakit juga bisa saya tentukan sendiri.  Tagihan pengobatan saya bayar dengan uang pribadi.  Setelah itu, klaim ke perusahaan dapat diajukan dengan menyerahkan bukti pembayaran.  Biasanya, penggantian akan cair di bulan berikutnya sebesar 90% dari total biaya yang telah dikeluarkan, sisanya yang 10% yaaa dari kantong sendiri.  Gaji saya saat itu hanya cukup untuk ongkos sehari-hari, beli pulsa, dan menutupi biaya pengobatan yang 10% itu. Jadi, dengan segala kebutuhan yang ada, saya tetap memilih rumah sakit yang harganya bersahabat sehingga dapat menekan biaya yang 10% itu he..he..

Sebagai pegawai baru (dan masih kontrak pula), saya seringkali sungkan ketika mengajukan klaim biaya pengobatan terus-menerus setiap bulan ke kantor.  Mungkin memang karakter saya yang orangnya 'gak enakan' dan berpikir bahwa diluar sana banyak orang yang siap menempati posisi saya dengan kualifikasi yang lebih baik dari saya tanpa membebani perusahaan dengan tagihan-tagihan biaya pengobatan setiap bulan.  Saat itu besaran biaya yang seringkali saya ajukan berkisar Rp. 600.000-an setiap bulannya.  Terlebih lagi saat itu, saya masih sangat tertekan dengan diagnosa dokter dan masih penyesuaian asupan sehari-hari yang tidak melebihi kebutuhan kalori harian saya.  Saya juga malu apabila teman-teman di kantor tau kalau saya adalah penyandang diabetes. Hah?? kena gula? masih muda? emang makan apa sih? biasanya begitu pertanyaan orang-orang ketika tau aku punya sakit gula. Rasanya malu dan sedih (tapi sekarang sih udah ga gitu lagi, malah udah asyik bersahabat dengan diabetes).

ASKES
Rasanya sudah tak sanggup menjalani hari-hari yang terasa berat saat itu. Doa-doa tak pernah terlewat untuk dipanjatkan agar diberikan jalan terbaik oleh-Nya. Alhamdulillah.. jawaban itu datang dengan berita : saya lolos tes CPNS di akhir tahun 2010.  Percaya ga percaya bisa lolos CPNS dengan saingan yang begitu banyaknya, apalagi saya memilih wilayah penempatan Jabodetabek yang formasinya kecil dengan pendaftar yang paling banyak dibanding wilayah lainnya. Kalau bukan karena campur tangan Allah SWT, rasanya tak mungkin bisa lolos.  Saya pun memutuskan untuk memilih menjadi abdi negara dibanding menjadi banker

Dan satu hal yang tidak kalah menggembirakan adalah ASKES bisa dimanfaatkan oleh CPNS, yang notabene belum 100% menjadi PNS.  Saya pun segera mengurusnya.  Ternyata untuk memanfaatkan ASKES ini, berbagai prosedur harus dilalui dan cukup membutuhkan banyak waktu untuk mengurusnya.  Saya pasti akan izin tidak masuk kerja kalau waktunya kontrol ke dokter. Begini prosedurnya:
  1.  Saya meminta rujukan dari Puskesmas terdaftar untuk ke Rumah Sakit, karena pengobatan untuk diabetes tidak bisa dilakukan di Puskesmas.
  2.  Lalu, hari berikutnya saya datang ke RS pagi-pagi sekali (saya usahakan jam 6 sudah tiba di RS), lalu menunggu antrian di loket ASKES.
  3. Setelah dari loket ASKES, dilanjutkan mengantri lagi dipoli untuk ditimbang, ditensi, lalu menunggu panggilan masuk ke ruang dokter.
  4. Lanjut lagi antri di apotek untuk tebus resep dokter. Biasanya saya ke apotek rumah sakit, namun ada pula RS yang bekerja sama dengan apotek lain agar pasien punya beberapa pilihan untuk mengambil obat, namun biasanya pilihannya hanya sedikit.
Saya harus meluangkan waktu seharian di rumah sakit untuk melalui prosedur dari poin 2 hingga 4, dari pagi sampai sore.  Biasanya saya baru bisa pulang antara pukul 14.00-16.00. Sejak pertama saya memanfaatkan ASKES pada tahun 2011 hingga 2013 (karena BPJS berlaku sejak 1 Januari 2014), saya sudah 3x pindah RS : RSUD Pasar Rebo, RS Marzoeki Mahdi Bogor, dan  RSUP Fatmawati.  Kalau di RSUP Fatmawati malah harus booking sebulan sebelum kontrol agar dapat kuota.

BPJS
ASKES berubah menjadi BPJS sejak 1 Januari 2014. Saat itu saya kontrol rutin bulanan di RSUP Fatmawati.  Saya betul-betul merasakan rumitnya prosedur BPJS saat awal diberlakukannya. Sampai saya mengeluh mengapa sudah nyaman dengan ASKES (karena sudah terbiasa dengan prosedurnya) harus diganti dengan BPJS yang kok sepertinya lebih rumit? dan sampai-sampai saya baru bisa pulang dari rumah sakit menjelang Maghrib. Tapi ternyata berbagai perbaikan dilakukan, semakin lama prosedurnya lebih mudah.  Berbagai kemudahan yang saya rasakan antara lain :
  1. Saya bisa berobat rutin setiap bulan ke rumah sakit (yang bekerja sama dengan BPJS) terdekat dari rumah tinggal saya.  Jaraknya hanya sekitar 2,1 km dari rumah, daripada ke RSUP Fatmawati yang membutuhkan waktu 1,5-2 jam perjalanan.  
  2. Awalnya, saya terdaftar di Puskesmas untuk Faskes Tingkat 1, dimana antriannya cukup panjang. Dengan BPJS, saya bisa pindah ke klinik pratama rawat jalan yang sangat dekat dari rumah, cukup dengan berjalan kaki saja dan disana pun tak perlu mengantri sepanjang antrian di Puskesmas. 
  3. Karena insulin tidak tersedia di apotek rumah sakit, maka saya dapat menebus insulin (resep dokter) di apotek kimia farma. Pilihannya pun cukup banyak tersebar di kota tempat saya tinggal, dan saya pun memilih apotek yang cukup dekat dengan rumah.  Resep dokter berlaku hingga 7 hari (seminggu) sehingga saya dapat menebus obat dengan menyesuaikan waktu luang saya selama tak lebih dari seminggu ke depan.
  4. Selain itu, saya tak perlu setiap bulan memperbaharui rujukan, karena dengan adanya DPJP, selama masih berlaku, saya dapat langsung mendaftar di RS tanpa harus ke Faskes Tingkat 1. Nanti setelah masa berlaku DPJP habis, baru saya akan memperbaharui lagi rujukannya.  Selama ini, DPJP yang diberikan dokter untuk saya yang merupakan penyandang diabetes, bisa berlaku selama 3-6 bulan (tergantung dokter). 
Fasilitas kesehatan yang dekat dari rumah memang memudahkan saya dalam berobat. Reimbursement memang praktis, tapi saya tak sampai hati kalau harus mengajukan klaim ke kantor setiap bulan (atau saya saja yg terlalu lebay 😁).  Kalau ASKES, saya lebih tenang, karena tak perlu merepotkan HRD setiap bulannya, tapi prosedurnya rumit dan sangat menguji kesabaran karena antrian yang mengular.  BPJS juga masih membutuhkan kesabaran ekstra, tapi jauh lebih memangkas waktu daripada masih menggunakan ASKES. Ini semua pengalaman dan pendapat pribadi saya, mungkin saja tiap orang merasakan hal yang berbeda ketika memanfaatkan ASKES dan BPJS dan punya pendapat yang berbeda pula. Silakan saja, boleh sharing! 😉





     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabetes Basah atau Diabetes Kering???

When I tell someone, I have diabetes.... "Diabetesnya basah apa kering???" Wah.. ini tanggapan sekaligus pertanyaan sepert...