Jumat, 28 Juli 2017

Berdamai dengan Diabetes

Berdamai dengan Diabetes

"Sepertinya mengarah ke diabetes mellitus, tapi nanti kita lihat dulu hasil laboratoriumnya ya" dokter menyampaikan diagnosanya kepada saya. Skema yang terbentuk di pikiran saya tentang diabetes bermunculan. Ayah saya meninggal akibat serangan jantung yang dipicu oleh diabetes, ada pula tetangga saya yang luka di kakinya tak sembuh-sembuh karena diabetes, pernah juga saya membaca kisah seorang ibu yang kakinya diamputasi karena diabetes. Saya bertanya-tanya dalam hati, "Apakah ini tandanya hidup saya tidak akan lama lagi? apa artinya saya tidak bisa hidup normal seperti teman-teman lainnya?"

Sedih, malu, khawatir rasanya bercampur aduk. Sedih karena kata dokter, diabetes belum bisa disembuhkan. Malu karena saya tak mau orang-orang tau kalau saya terkena diabetes. Khawatir karena saya tak tau apakah saya dan Ibu punya cukup uang untuk biaya pengobatannya dan apakah saya masih bisa makan es krim, pecel ayam (laahh???). Tapi setidaknya saya lega mengetahui apa yang terjadi pada diri saya. Saya belum siap mendengar komentar orang-orang, karena itu saya menyimpan ini sebagai rahasia (tapi tetep ajaaaa Si Mamah ga bisa diajak kompromi hehehe).

Selepas itu, banyak saran-saran datang ke kami untuk pengobatan diabetes, seperti brotowali, mahoni, daun kelor, dan entah apa lagi (karena urusan obat-obat tradisional ini Ibu saya yang urus, pokoknya saya tinggal minum, glek..glek..uweeek!! Pait!!). Pengobatan alternatif dengan terapi-terapi juga saya jalani. Mula-mula saya sangat bersemangat dan berharap bisa sembuh, tapi lama kelamaan saya merasa semuanya sia-sia karena gula darah tetap tinggi.  Sebenarnya kadang-kadang saya tak mau mencoba semua saran tetangga dan kerabat, tapi melihat Ibu saya begitu sungguh-sungguh dan berharap anaknya bisa sembuh, sebagai rasa hormat saya kepada Ibu, akhirnya saya jalani juga.

Kebetulan sekali, saat saya terdiagnosa diabetes, saya bekerja di kantor kas bank yang berada di dalam gedung Rumah Sakit Kanker Dharmais. Selama bekerja, saya bisa melihat orang-orang yang sedang diuji kesehatannya datang untuk berobat dengan berbagai kondisi. Saya bisa melihat bahwa apa yang terjadi pada saya patut disyukuri.  Tak baik berlarut-larut menyesali keadaan. Bukankah Tuhan memberikan ujian sesuai dengan kesanggupan hamba-Nya? Artinya, saya mampu melalui ini.

Saya masih ingat, sekitar 5 bulan setelah terdiagnosa, pikiran saya mulai terbuka. Saya datang ke Gramedia dan mencari buku-buku tentang diabetes.  Salah satu buku yang sangat berkesan adalah buku berjudul "Bersahabat dengan Diabetes" yang ditulis oleh Epie Suryono (yang kemudian saya dapat mengenal beliau secara langsung saat saya berobat rutin di RSUP Fatmawati).  Saya juga memutuskan untuk menjalani pengobatan dengan insulin, karena berbagai obat oral yang pernah saya konsumsi tidak banyak membantu menurunkan kadar gula darah saya.

Saya mulai berpikir, saya akan menjalani sisa hidup saya bersama diabetes. Saya tak mau merepotkan Ibu dan orang-orang yang saya sayangi dengan mengurus dan memikirkan saya apabila saya sakit-sakitan, jadi saya harus sehat! Saya akan berkeluarga, punya anak, mengurus suami dan anak (mungkin saat itu pikiran saya terlalu jauh, tapi yaa memang begitulah saya hehe) karena itu saya harus sehat! Daaan sehat itu tidak berarti harus sembuh, hidup sebagai penyandang diabetes pun bisa sehat dan melakukan aktivitas seperti orang tanpa diabetes. Kuncinya, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan diabetes.


Ada beberapa hal yang saya coba tanyakan kepada diri sendiri :
"Apa yang saya inginkan dengan keadaan seperti ini?" saya ingin sembuh!
"Apa yang saya inginkan setelah sembuh?" saya ingin bahagia, bisa melakukan aktivitas apapun dan makan makanan yang saya suka (contoh: nasi uduk pecel ayam, eaaaa).
"Apa artinya kalau belum sembuh tidak akan bahagia?" Tidak dong, saya tidak ingin seperti itu.
Baiklah, kalau begitu saya langsung saja mencapai tujuan akhir, yaitu bahagia, meskipun belum bisa sembuh. Kuncinya, bersyukur. Tetap ikhtiar, tetap tawakal. Tiada yang tidak mungkin apabila Allah SWT telah berkehendak.

Akhirnya, saya berusaha keras untuk mengontrol gula darah.  Sebagai pemula, ini memang terasa sulit awalnya. Saya merasakan mengontrol kadar gula darah dengan insulin lebih efektif, dibandingkan dengan pengobatan-pengobatan sebelumnya yang sudah saya coba.  Gula darah saya bisa mencapai nilai normal. Wah, senangnya luar biasa! Tugas saya selanjutnya adalah menjaganya agar tetap normal.  Berat badan saya berangsur-angsur mulai naik. Saya mulai membiasakan diri berolahraga. Dan yang tidak kalah asyiknya, ternyata saya tetap bisa makan makanan kesukaan saya (tapi syarat dan ketentuan tetap berlaku yaaa). Ternyata saya tetap bisa beraktivitas seperti orang-orang tanpa diabetes. Bahkan orang-orang tak menyangka kalau saya ini penyandang diabetes. Jadilah, si diabetes yang tadinya nyebelin, eeehhh sekarang malah jadi sahabat asyik!!!


Sabtu, 22 Juli 2017

Ketika Dokter Salah Mendiagnosa : Ternyata Diabetes!

Diabetes usia muda

Tujuh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2010, kondisi kesehatan saya memburuk.  Saya merasa dari hari ke hari tubuh ini melemah, mudah sekali kecapekan.  Awalnya saya tak menghiraukannya, saya pikir mungkin hanya perasaan saja karena tingkat pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan konsentrasi ekstra, tapi kok lama-lama semakin terasa ada yang tidak beres. Puncaknya, saat mengikuti pelatihan Basic Training yang diadakan perusahaan bagi pegawai baru, saya tak sanggup berdiri, selalu muntah ketika mencoba berdiri, pusing, dan mual. Akhirnya teman-teman yang baru saya kenal di tempat pelatihan pun membawa saya ke klinik terdekat. Dokter mendiagnosa saya terkena sakit maag. Obat-obatan yang diresepkan dokter pun saya minum, tapi sakit tak kunjung sembuh.

Sebulan kemudian, karena kondisi tak kunjung membaik, Ibu mengantarkan saya berobat ke klinik dekat rumah, karena lokasi klinik pertama cukup jauh dari rumah.  Dokter menyarankan untuk cek darah (tapi sayang cek darah yang dilakukan tidak termasuk cek kadar gula darah).  Menurut dokter, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa saya sakit tipes. Meskipun telah meminum obat yang diresepkan dokter, anehnya kondisi saya malah semakin memburuk.  Saya pun mencoba obat-obatan alternatif untuk menyembuhkan sakit tipes (sesuai diagnosa dokter) seperti obat cacing. Namun, kondisi saya tetap tak membaik.

Karena kondisi saya semakin memprihatinkan, akhirnya saya dan ibu kembali ke dokter.  Namun kami datang ke dokter yang berbeda lagi. Dokter ketiga ini bisa dibilang dokter keluarga kami, karena sejak saya dan kakak-kakak masih kecil, kami selalu berobat ke dokter tersebut.  Dokter menjawab dengan santai bahwa tak perlu khawatir, ini sakit yang biasa saja.  Dokter tidak memberi informasi lengkap, sakit apa sebenarnya yang saya derita.  Saya pun diresepkan obat, yang kemudian saya minum sesuai anjuran.
  
Sayangnya, resep obat yang ketiga ini pun tidak membuat kondisi saya membaik. Dari hari ke hari kondisi saya semakin parah. Ibu saya mengatakan bahwa badan saya dingin, tapi saya merasakan badan saya panas. Malam hari saya tak bisa tidur tanpa mendekap es batu karena merasa tubuh ini amat panas. Kulit saya pun menjadi sangat kering dan sangaaat bersisik. Saya pun pernah mengompol di kantor (serius, ini memalukan banget!) dan juga mengompol di perjalanan saat pulang kantor.  Saya tak kuat berjalan lama. Pernah saya tak sanggup berjalan dan terduduk di tengah jembatan penyebrangan sambil menahan tangis.

Kakak saya menyarankan untuk berobat herbal.  Saya melakukan bekam dan terapi sengat lebah.  Sang terapis, yang juga merupakan saudara, mengatakan bahwa ada gangguan di saluran kemih (hampiiiir tepat!). Obat-obat herbal yang diberikan pun saya minum, tapi kondisi saya tetap memprihatinkan.  Jika malam tiba, saya akan memanggil-manggil Ibu saya untuk minta disediakan es batu. Lalu es batu itu saya peluk hingga saya tertidur.  Tengah malam saya terbangun karena kaki terasa kram dan tak bisa digerakkan. Berat badan saya semakin turun, dengan tinggi 165 cm, berat badan saya hanya 39 kg. Kurus parah!

Karena tak sembuh-sembuh juga, saya dan ibu kembali ke ke dokter. Saat itu saya berpikir, mungkin saya salah karena selalu datang ke dokter yang berbeda sehingga diagnosa yang ditegakkan menjadi kurang tepat.  Akhirnya, saya dan ibu kembali ke dokter ketiga. Diluar dugaan, dokter mengatakan bahwa penyakit yang saya derita bisa saja berasal dari sesuatu yang nonmedis.  Saya masih ingat ketika dokter mengatakan, "Coba kamu ingat-ingat, apa ada orang yang sudah kamu sakiti? nanti sampai rumah kamu tulis permintaan maaf melalui sms dan dikirim ke semua kontak yang ada di HP ya."  Haaaahhhh???????? kok yaaaa malah bikin saya makin pening.  Dokter pun mengatakan bahwa bisa saja ini karena depresi.  Whaaaatttttt???!!!!!!

Alhamdulillah, esok harinya kakak ipar saya datang untuk membawa saya ke RSUD Pasar Rebo (beruntung bukan dibawa ke orang 'pintar' hehehe).  Sesampainya di RS, kami disarankan untuk datang ke poli spesialis penyakit dalam.  Ternyata antriiiiii booo...... Saya duduk di ruang tunggu sambil bolak balik ke kamar mandi.  Tiba saatnya saya masuk ke ruang dokter, dan seperti biasanya dokter menanyakan keluhan yang dirasa. Disini, Ibu sempat berkata "kayaknya anak saya sering banget buang air kecil dok." Kemudian dokter pun menanyakan beberapa hal yang tepat sekali pada sasaran. "Ada riwayat keluarga yang diabetes? sering haus berlebihan? tadinya berat badan berapa?" Jlepp!! Diabet?? Sakit gula??? Saya????Gubrak!

Dokter menyampaikan sepertinya mengarah ke diabetes mellitus, tapi untuk memastikan akan dilihat dari hasil laboratorium nanti.  Betul saja, hasil lab menunjukkan kadar gula darah 604 mg/dL dan HbA1c >14%. Oya, hasil kolesterol juga agak tinggi yaitu sekitar 230 mg/dL, kata dokter, gula darah dan kolesterol ini ibaratnya temenan, kalau gula darah tinggi kolesterol bisa ikut naik juga.  Berat badan saya turun sekitar 7 kg.  Memang sejak kecil saya kurus (bahkan teman-teman memanggil saya dengan sebutan 'Si Cungkring') dan tambah kurus lagi sejak kena diabet..huhuhu...

Usia saya 22 tahun dan saya terdiagnosa diabetes. Beberapa bulan saya mencoba obat diabetes oral, namun gula darah masih tetap tinggi di atas nilai normal.  Segala macam cara saya coba untuk menurunkan gula darah, mulai dari tidak makan nasi, merebus semua makanan, mengurangi jumlah makan, olahraga, tapi tetap saja gula darahnya bandel tak mau turun.  Sesuai saran tetangga dan kerabat, saya juga minum berbagai jenis daun-daunan yang katanya bisa menurunkan gula darah, menelan biji mahoni yang pahitnya minta ampun, minum rebusan batang pohon mahoni, bahkan rebusan air arang (masih banyak hal lainnya tapi saya lupa). Ikhtiar saya tak sampai disitu, saya juga mengunjungi berbagai tempat pengobatan alternatif yang katanya bisa menyembuhkan segala macam penyakit (naik turun bus kota sampai-sampai saya dan ibu kesasar). Kalau diingat-ingat kembali, saya suka senyum-senyum sendiri hehe... Hasilnya???gula darah tetap bandel! tetap tinggi!!

Meskipun saya mencoba obat-obat tradisional tetapi saya tetap kontrol rutin ke dokter spesialis penyakit dalam. Akhirnya, dokter menguatkan saya untuk beralih ke suntikan insulin (karena sebelumnya sudah disarankan untuk menggunakan insulin tapi saya kekeuh ga mau).  Saya masih ingat bagaimana ketika akhirnya saya setuju menggunakan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Dokter mengeluarkan sesuatu seperti pena dari laci mejanya, yang tak disangka-sangka itu adalah insulin pen.  Nanti tentang insulin akan kita bahas sendiri ya.. (tapi sabar ya..tunggu bocah tidur baru bisa nulis hehe).  Kembali ke cerita awal ketika dokter salah mendiagnosa!

Sebetulnya, saya tau kalau saya lebih sering buang air kecil (terutama saat malam hari). Tapi saya menganggap ini bukan keluhan penyakit karena merasa hal ini wajar (toh minum saya memang banyak bahkan sangat banyak) sehingga hal ini tidak saya sampaikan ketika dokter menanyakan keluhan yang dirasa. Saya juga sering merasa lapar yang berlebihan, lagi-lagi saya merasa ini wajar karena saya bekerja. Jadi, saya pikir ini bukanlah suatu gejala penyakit. Enak makan, enak tidur, banyak minum, kok dibilang sakit? hehe.... rasanya tidak seperti gejala penyakit (hehe itulah kenapa diabetes sering disebut juga sebagai 'the silent killer'). Selain itu, saya juga merasa penglihatan mulai kabur, saya tak dapat melihat dengan jelas jam dinding menunjukkan pukul berapa (tapi saya pikir : mungkin saya butuh kacamata!).

Gejala-gejala utama yang seperti ini justru tidak tersampaikan ke dokter dan dokter pun kurang dapat menggali lebih banyak keluhan yang dirasakan pasien.  Akibatnya, yaa seperti yang saya alami, salah diagnosa!  Sebenarnya, saya bukanlah orang yang baru mendengar istilah 'diabetes'. Ayah saya wafat di usia 58 tahun (tepatnya 8 tahun sebelum saya terdiagnosa diabetes) karena serangan jantung yang diduga dipicu diabetes yang dideritanya beberapa tahun terakhir. Obat-obatan untuk diabetes selalu tersedia di meja makan kami.  Ayah pun sering berpesan kepada kami, anak-anaknya, agar jangan berlebihan mengkonsumsi yang manis-manis karena diabetes itu menurun.

Meskipun tidak terdengar asing di telinga saya, sayangnya saya tidak membekali diri dengan pengetahuan seputar diebetes.  Harusnya saya bisa lebih waspada, karena dengan riwayat keluarga yang terkena diabetes, saya memiliki resiko tinggi untuk terkena diabetes. Tapi siapa sangka saya terdiagnosa di usia muda? bukankah selama ini setau saya yang sakit gula adalah orang-orang yang sudah tua saja? Barulah saya tau ternyata diabetes itu tidak mengenal usia, muda atau tua, bahkan bayi saja ada yang terkena diabetes. Jadi, jangan pernah mengabaikan gejala-gejala seperti yang saya sebutkan diatas! Yuk, segera cek ke dokter! Bahkan jika memang memiliki resiko tinggi terkena diabetes, tak ada salahnya mengecek kadar gula secara berkalaπŸ‘Œ.

Rabu, 19 Juli 2017

Reimbursement, ASKES, dan BPJS


Saya pernah menjalani ketiganya untuk pengobatan diabetes. Saya membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar gula darah saya, dimana harga insulin itu tidak murah (baca : mahal) bagi saya. Jadi, tunjangan kesehatan memang sangat membantu saya untuk menekan biaya kesehatan setiap bulannya. Karena selain insulin, masih ada kebutuhan lainnya seperti jarum untuk insulin pen, strip glukometer, alcohol swab, jarum lancet, dsb yang memang harus saya anggarkan setiap bulannya.  Saya ingin berbagai pengalaman saya sewaktu menjalani pengobatan dengan menggunakan sistem reimbursement, ASKES, dan BPJS 😊

Reimbursement
Saya berusia 22 tahun saat pertama kali terdiagnosa diabetes di tahun 2010.  Baru beberapa bulan lulus kuliah.  Bersyukur, saya tidak lama menganggur. Lamaran online yang saya tujukan ke salah satu bank syariah berbuah manis. Setelah menjalani rangkaian prosedur penerimaan pegawai, saya dinyatakan diterima. Senangnya bukan main! Tak berapa lama setelah kebahagiaan itu pun, saya terdiagnosa Diabetes Mellitus (atau orang awam lebih mengenalnya dengan 'sakit gula'). Saya yang saat itu berstatus sebagai pegawai kontrak, mendapat fasilitas tunjangan kesehatan berupa penggantian uang kembali dari biaya pengobatan yang sudah dikeluarkan (reimbursement, atau 'rembes') sebesar 90% dari perusahaan tempat saya bekerja.

Dengan fasilitas kesehatan seperti itu, saya lebih leluasa memilih dokter dengan jam praktik yang dapat disesuaikan dengan waktu luang yang saya miliki.  Rumah sakit juga bisa saya tentukan sendiri.  Tagihan pengobatan saya bayar dengan uang pribadi.  Setelah itu, klaim ke perusahaan dapat diajukan dengan menyerahkan bukti pembayaran.  Biasanya, penggantian akan cair di bulan berikutnya sebesar 90% dari total biaya yang telah dikeluarkan, sisanya yang 10% yaaa dari kantong sendiri.  Gaji saya saat itu hanya cukup untuk ongkos sehari-hari, beli pulsa, dan menutupi biaya pengobatan yang 10% itu. Jadi, dengan segala kebutuhan yang ada, saya tetap memilih rumah sakit yang harganya bersahabat sehingga dapat menekan biaya yang 10% itu he..he..

Sebagai pegawai baru (dan masih kontrak pula), saya seringkali sungkan ketika mengajukan klaim biaya pengobatan terus-menerus setiap bulan ke kantor.  Mungkin memang karakter saya yang orangnya 'gak enakan' dan berpikir bahwa diluar sana banyak orang yang siap menempati posisi saya dengan kualifikasi yang lebih baik dari saya tanpa membebani perusahaan dengan tagihan-tagihan biaya pengobatan setiap bulan.  Saat itu besaran biaya yang seringkali saya ajukan berkisar Rp. 600.000-an setiap bulannya.  Terlebih lagi saat itu, saya masih sangat tertekan dengan diagnosa dokter dan masih penyesuaian asupan sehari-hari yang tidak melebihi kebutuhan kalori harian saya.  Saya juga malu apabila teman-teman di kantor tau kalau saya adalah penyandang diabetes. Hah?? kena gula? masih muda? emang makan apa sih? biasanya begitu pertanyaan orang-orang ketika tau aku punya sakit gula. Rasanya malu dan sedih (tapi sekarang sih udah ga gitu lagi, malah udah asyik bersahabat dengan diabetes).

ASKES
Rasanya sudah tak sanggup menjalani hari-hari yang terasa berat saat itu. Doa-doa tak pernah terlewat untuk dipanjatkan agar diberikan jalan terbaik oleh-Nya. Alhamdulillah.. jawaban itu datang dengan berita : saya lolos tes CPNS di akhir tahun 2010.  Percaya ga percaya bisa lolos CPNS dengan saingan yang begitu banyaknya, apalagi saya memilih wilayah penempatan Jabodetabek yang formasinya kecil dengan pendaftar yang paling banyak dibanding wilayah lainnya. Kalau bukan karena campur tangan Allah SWT, rasanya tak mungkin bisa lolos.  Saya pun memutuskan untuk memilih menjadi abdi negara dibanding menjadi banker

Dan satu hal yang tidak kalah menggembirakan adalah ASKES bisa dimanfaatkan oleh CPNS, yang notabene belum 100% menjadi PNS.  Saya pun segera mengurusnya.  Ternyata untuk memanfaatkan ASKES ini, berbagai prosedur harus dilalui dan cukup membutuhkan banyak waktu untuk mengurusnya.  Saya pasti akan izin tidak masuk kerja kalau waktunya kontrol ke dokter. Begini prosedurnya:
  1.  Saya meminta rujukan dari Puskesmas terdaftar untuk ke Rumah Sakit, karena pengobatan untuk diabetes tidak bisa dilakukan di Puskesmas.
  2.  Lalu, hari berikutnya saya datang ke RS pagi-pagi sekali (saya usahakan jam 6 sudah tiba di RS), lalu menunggu antrian di loket ASKES.
  3. Setelah dari loket ASKES, dilanjutkan mengantri lagi dipoli untuk ditimbang, ditensi, lalu menunggu panggilan masuk ke ruang dokter.
  4. Lanjut lagi antri di apotek untuk tebus resep dokter. Biasanya saya ke apotek rumah sakit, namun ada pula RS yang bekerja sama dengan apotek lain agar pasien punya beberapa pilihan untuk mengambil obat, namun biasanya pilihannya hanya sedikit.
Saya harus meluangkan waktu seharian di rumah sakit untuk melalui prosedur dari poin 2 hingga 4, dari pagi sampai sore.  Biasanya saya baru bisa pulang antara pukul 14.00-16.00. Sejak pertama saya memanfaatkan ASKES pada tahun 2011 hingga 2013 (karena BPJS berlaku sejak 1 Januari 2014), saya sudah 3x pindah RS : RSUD Pasar Rebo, RS Marzoeki Mahdi Bogor, dan  RSUP Fatmawati.  Kalau di RSUP Fatmawati malah harus booking sebulan sebelum kontrol agar dapat kuota.

BPJS
ASKES berubah menjadi BPJS sejak 1 Januari 2014. Saat itu saya kontrol rutin bulanan di RSUP Fatmawati.  Saya betul-betul merasakan rumitnya prosedur BPJS saat awal diberlakukannya. Sampai saya mengeluh mengapa sudah nyaman dengan ASKES (karena sudah terbiasa dengan prosedurnya) harus diganti dengan BPJS yang kok sepertinya lebih rumit? dan sampai-sampai saya baru bisa pulang dari rumah sakit menjelang Maghrib. Tapi ternyata berbagai perbaikan dilakukan, semakin lama prosedurnya lebih mudah.  Berbagai kemudahan yang saya rasakan antara lain :
  1. Saya bisa berobat rutin setiap bulan ke rumah sakit (yang bekerja sama dengan BPJS) terdekat dari rumah tinggal saya.  Jaraknya hanya sekitar 2,1 km dari rumah, daripada ke RSUP Fatmawati yang membutuhkan waktu 1,5-2 jam perjalanan.  
  2. Awalnya, saya terdaftar di Puskesmas untuk Faskes Tingkat 1, dimana antriannya cukup panjang. Dengan BPJS, saya bisa pindah ke klinik pratama rawat jalan yang sangat dekat dari rumah, cukup dengan berjalan kaki saja dan disana pun tak perlu mengantri sepanjang antrian di Puskesmas. 
  3. Karena insulin tidak tersedia di apotek rumah sakit, maka saya dapat menebus insulin (resep dokter) di apotek kimia farma. Pilihannya pun cukup banyak tersebar di kota tempat saya tinggal, dan saya pun memilih apotek yang cukup dekat dengan rumah.  Resep dokter berlaku hingga 7 hari (seminggu) sehingga saya dapat menebus obat dengan menyesuaikan waktu luang saya selama tak lebih dari seminggu ke depan.
  4. Selain itu, saya tak perlu setiap bulan memperbaharui rujukan, karena dengan adanya DPJP, selama masih berlaku, saya dapat langsung mendaftar di RS tanpa harus ke Faskes Tingkat 1. Nanti setelah masa berlaku DPJP habis, baru saya akan memperbaharui lagi rujukannya.  Selama ini, DPJP yang diberikan dokter untuk saya yang merupakan penyandang diabetes, bisa berlaku selama 3-6 bulan (tergantung dokter). 
Fasilitas kesehatan yang dekat dari rumah memang memudahkan saya dalam berobat. Reimbursement memang praktis, tapi saya tak sampai hati kalau harus mengajukan klaim ke kantor setiap bulan (atau saya saja yg terlalu lebay 😁).  Kalau ASKES, saya lebih tenang, karena tak perlu merepotkan HRD setiap bulannya, tapi prosedurnya rumit dan sangat menguji kesabaran karena antrian yang mengular.  BPJS juga masih membutuhkan kesabaran ekstra, tapi jauh lebih memangkas waktu daripada masih menggunakan ASKES. Ini semua pengalaman dan pendapat pribadi saya, mungkin saja tiap orang merasakan hal yang berbeda ketika memanfaatkan ASKES dan BPJS dan punya pendapat yang berbeda pula. Silakan saja, boleh sharing! πŸ˜‰





     

Sabtu, 15 Juli 2017

Keguguran di Usia 5 Minggu

Sebagai penyandang diabetes, saya sudah membekali diri dengan berbagai informasi seputar kehamilan dengan diabetes. Namun sayang, kehamilan kali ini memang tidak mendapat perhatian ekstra seperti pada anak pertama kami.  Di usia si kakak yang belum genap 3 tahun (tepatnya 2 tahun 7 bulan), perhatian saya terbagi-bagi : mengurus si kakak, menjaga kehamilan, mengontrol gula darah, mengerjakan tugas kuliah, dan pekerjaan rumah lainnya.  Akibatnya, saya kelelahan.

Puncaknya pada Kamis, 6 Juli 2017, saya janji dengan si kakak akan menyewa perosotan di tempat langganan kami sewa mainan anak. Saya putuskan untuk mengambil sendiri perosotannya karena lokasinya tidak jauh dari rumah kami.  Setelah mengambil perosotan, saya tidak langsung pulang, melainkan menuju ke Rumah Tahfidz dimana keponakan saya akan belajar disana. Sepulang dari sana, saya mengalami kecelakaan ringan. Mobil yang saya bawa menabrak tembok rumah orang :(

Kaget. Berdebar-debar. Lelah.

Setelah kejadian itu pun masih banyak yang harus diurus, termasuk mobil yang dibawa ke bengkel. Rasanya tubuh ini kuat-kuat saja. Ibu Mertua saya panik, menyarankan untuk segera ke dokter kandungan, tapi saya jawab "Ga apa-apa kok mah, semuanya Insya Allah baik-baik aja."

Hingga esok harinya, hari Jumat siang, keluar flek cokelat sepanjang bagian bawa celana dalam.  Saya dan suami segera ke dokter kandungan malam harinya. Dokter tidak memberi resep penguat kandungan, saya disarankan bedrest, dan diberi vitamin berupa Folamil Genio dan Folavit.  Beliau mengatakan ini tidak ada hubungannya dengan kecelakaan kemarin, mungkin kelelahan.  Sayangnya, gula darah pun tidak terkontrol (lihat gambar: abaikan tanggal dan jam yang tidak sesuai).  Berbeda dengan kehamilan si kakak yang mulai sulit mengontrol gula darah di trimester akhir, kehamilan kali ini saya kesulitan mengontrol kadar gula darah. Mungkin karena kemauan makan yang meningkat, namun dosis insulin tidak disesuaikan dengan kondisi tersebut, ditambah pula saya lengah mengecek kadar gula darah sehingga sering terlewat.

Gula darah tinggi
Kadar Gula Darah Tinggi saat Hamil Muda 


Esok harinya, hari Sabtu, 3 kali flek cokelat tua keluar lagi. Sulit bagi saya untuk benar-benar hanya tidur, makan, dan solat.  Setiap kali saya beraktivitas, seperti menyuapi dan gendong si kakak, flek akan keluar. Saya memang tidak istirahat total seperti yang disarankan dokter.  Hingga hari Minggu, flek masih saja keluar, warnanya sudah mulai agak kemerahan. Saya pun segera menghubungi rumah sakit untuk jadwal kontrol di Senin pagi.

Senin pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, keluar darah segar.  Kami datang ke dokter kandungan yang berbeda dengan sebelumnya, karena beliau tidak ada jadwal praktik pagi itu. Setelah di USG dari perut, dokter mengatakan bahwa sudah dalam proses keguguran.  Pemeriksaan dilanjutkan dengan USG Transvaginal. Karena usia kandungan yang masih muda, dokter tidak bisa memastikan penyebab keguguran tersebut apakah karena Blighted Ovum (BO), atau karena kelelahan, atau karena faktor lain misalnya karena kadar gula darah yang tidak terkontrol.  Untuk memastikan BO, setidaknya usia kandungan harus 8 minggu.

Keguguran secara alami tanpa ada obat-obatan yang diresepkan.  Dokter mengatakan "ga takut darah kan? ga usah di kiret ya, ini sama aja kok kayak persalinan normal." Vitamin disarankan tetap diminum karena saat banyak keluar darah, saya akan membutuhkan tambahan zat besi. Proses keguguran berlangsung di rumah, tidak perlu rawat inap.  Perut terasa mules seperti mau menstruasi namun lebih kuat rasa mulesnya. Sore harinya, Senin, 10 Juli 2017, sebelum adzan Ashar, keluar kantung kehamilan berwarna bening dan kenyal jika dipegang.

Saya hanya bisa menangis, namun ketika melihat suami dan si kakak, senyum pun mengembang kembali. Seharusnya sebagai penyandang diabetes yang memiliki resiko-resiko kehamilan, saya bisa menjaga kehamilan dengan lebih intensif. Tubuh ini memang rasanya kuat-kuat saja melakukan ini itu, tapi nyatanya kehamilannya tidak kuat.  Manusia hanya bisa berencana, tetap Allah yang menentukan.  Allah yang Maha Mengetahui jalan terbaik untuk makhluk-Nya.

Diabetes Basah atau Diabetes Kering???

When I tell someone, I have diabetes.... "Diabetesnya basah apa kering???" Wah.. ini tanggapan sekaligus pertanyaan sepert...